Kamis, 24 Februari 2011 By: sanggar bunga padi

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

Peribahasa Indonesia yang menjadi judul tulisan di atas sangat populer di masyarakat untuk menggambarkan perilaku anak yang biasanya tidak jauh beda dengan perilaku orang tuanya. Peribahasa itu dalam konotasi negatifnya biasa dipakai masyarakat untuk menunjukkan kejengkelan atas perilaku buruk seseorang di tengah-tengah masyarakat. Jika di lingkungan kita ada remaja atau pemuda yang ugal-ugalan maka orang pun akan menengok silisah pemuda itu. Jika didapati fakta bahwa ternyata sejarah ayahnya atau ibunya atau kakeknya bernuansa keburukan, orang pun lantas berkata, “Oo pantas saja” dengan nada mencibir. Maksud dari ucapan ‘pantas saja’ itu menunjukkan bahwa apa yang diperbuat si anak tidaklah jauh berbeda dengan perbuatan salah satu orangtuanya.

Menurut teori, kebiasaan anak pertama-tama dilandasi indra penglihatannya yang meliputi peniruan akan sejumlah tingkah laku orang-orang dewasa di sekitarnya, terutama orangtuanya. Si anak menjadi imitasi (tiruan) dari apa-apa yang biasa dijumpainya di lingkungan kehidupannya. Tentu saja yang paling awal dan paling mudah adalah kebiasaan orangtuanya. Inilah yang menyebabkan mengapa keteladanan dalam perilaku lebih mujarab dibandingkan sejuta kata-kata yang terucap. Apalagi jika di kemudian hari diketahui bahwa kata-kata yang meluncur tidak sejalan dengan perilaku yang senyatanya.

Banyak orang yang dianggap sebagai tokoh agama secara struktural berbuncah-buncah menyerukan kejujuran namun dia sendiri secara diam-diam menelikung kejujuran itu. Tokoh agama secara struktural itu maksudnya adalah bahwa ia dianggap sebagai tokoh agama karena jabatan di kantornya, bukan benar-benar karena tafaqquh fiddin-nya. Banyak orang yang semacam ini, di hadapan khalayak menyerukan transparansi, kejujuran dan sebagainya tapi secara diam-diam mengangkangi uang kantornya dengan tidak benar. Berebut pelaksanaan anggaran karena semata memperhitungkan keuntungan finansial yang boleh jadi bakal diraihnya. Dan anak-anak tentu melihat sepak terjang orangtuanya.

Pengetahuan selanjutnya didapat anak dari pendidikan. Inilah yang sangat mungkin membedakan perilaku anak dengan orangtuanya. Seperti dinyatakan sebuah kata mutiara, ”oleh alam kita dilahirkan sama, dengan pendidikan kita menjadi berbeda.” Sebagai makhluk di alam dunia tatkala lahir kita nyaris semuanya sama. Tidak tahu apa-apa sampai kemudian ada orang lain yang mengajari kita tentang berbagai hal. Semakin banyak pendidikan atau pengetahuan yang kita terima, semakin berbeda kita dengan orang lain. Inilah yang kemudian juga bisa membedakan perilaku seorang anak dengan orangtuanya. Baik berbeda dalam kejelekennya atau berbeda dalam kebaikannya. Mungkin perilaku anaknya tidaklah sejelek orangtuanya. Atau mungkin perilaku anaknya tidaklah sebaik orangtuanya.

Yang juga mempengaruhi perilaku anak tentu saja adalah lingkungan pergaulannya. Seorang remaja ketika keluar dari rumahnya yang paling mempengaruhi pikirannya adalah kawan-kawan pergaulannya. Kata-kata dan nasehat orangtuanya nyaris hilang dan tinggallah bisikan-bisikan dan ajakan kawan-kawannya. Hal inilah yang seringkali membuat shock orangtua tatkala menemui anaknya telah terjebak pada pergaulan yang buruk.

Kejadian itulah yang kemudian menjadi anomali (penyimpangan) dari peribahasa di atas. Bahwa mungkin saja buah jatuh jauh dari pohonnya, jika ada intervensi dari luar atau karena letak tanah di mana pohon itu tumbuh. Contoh paling fenomenal dalam sejarah adalah Kan’an, anak Nabi Nuh As yang membangkang kepada bapaknya sendiri. Padahal bapaknya adalah seorang rasul. Namun kejadian Kan’an itu juga memberi penjelasan bahwa bukan Nabi Nuh yang dapat memberi petunjuk kepada seseorang melainkan Allah Swt sendiri yang memberinya. Sebagaimana juga Nabi Muhammad Saw tidak dapat memberi hidayah kepada pamannya, Abu Thalib, karena kekuasaan memberi petunjuk adalah milik Allah semata.

Dalam al Qur’an banyak do’a yang mengandung permohonan agar orangtua diberi anak-anak keturunan yang mampu mendatangkan ni’mat. Yakni anak keturunan yang salih dan salihah. Keturunan yang menyerupai orangtuanya dalam hal kebaikan memanglah sebuah nikmat Allah. Ada ungkapan yang hampir dianggap sebagai hadis menyatakan, ”Sungguh merupakan sebahagian dari nikmat Allah atas seorang hamba adalah dijadikan anaknya menyerupai bapaknya (dalam hal kebaikan).” Ungkapan ini ada yang menganggapnya sebagai hadis meski banyak ahli hadis yang mendhoifkannya. Walau begitu secara makna ungkapan itu benar adanya. Yakni bahwa memang menjadi suatu nikmat tersendiri jika orangtua mempunyai anak keturunan yang menyerupai dirinya, meniru dirinya dalam hal kebaikan. Seorang guru yang baik akan sangat senang jika anak-anaknya berperilaku baik sebagaimana dirinya. Seorang kiyai akan sangat senang jika anak-anaknya juga bisa menjadi kiyai seperti dirinya. Tapi di luar dua profesi yang dicontohkan itu, semua orangtua akan senang jika anak-anaknya dapat mewarisi kebaikan dirinya. Seorang penjahatpun menginginkan anaknya mewarisi sisi kebaikan dirinya jika memang ada.

Maka agar kenikmatan dari Allah kepada kita bertambah-tambah dengan melihat anak keturunan kita menyerupai kita dalam hal kebaikan, perbaikilah kehidupan kita. Sungguh suatu kenikmatan jika ”buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” itu adalah dalam hal kebaikan dan pengamalan ajaran Islam. Allahu a’lam.Zainul Arifin

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...