Selasa, 25 Januari 2011 By: sanggar bunga padi

Basuki Resobowo: Bercermin Di Muka Kaca -- Seniman, Seni, dan Masyarakat (Bagian 1)

Basuki Resobowo, selanjutnya BR, sebagai sepatah nama seorang seniman, saya kenal sejak tahun 1946, ketika kota Yogyakarta menjadi ibukota RI, yang juga dikenal dalam julukannya "Ibukota Revolusi". Ketika itu sanggar "Pelukis Rakyat" belum berdiri, yang ada baru satu sanggar dan satu organisasi pelukis, yi. sanggar SIM dan organisasi pelukis "PTPI" [Pusat Tenaga Pelukis Indonesia].

Jika "SIM" sebagai bagian dari "Biro Perjuangan" [tepatnya BP Daerah XXV yang wilayahnya meliputi Yogyakarta dan daerah "Dulang Mas" [Kedu-Magelang-Banyumas], kelak menjadi "TNI Masyarakat Daerah XXV"], maka "PTPI” sebagai bagian dari Kementerian Penerangan RI.

Wajah masyarakat Ibukota Revolusi ketika itu, tidak menyimpang dari namanya, adalah wajah dari hasrat yang satu, yaitu hasrat untuk merebut dan membela kemerdekaan. Sehingga bentuk pernyataannya pun satu, yaitu pernyataan semangat perjuangan. Di setiap bidang kosong di gerbong gerbong dan tembok bangunan, misalnya, penuh dengan tulisan semboyan dan lukisan-lukisan perjuangan. Misalnya, sisi dalam tembok timur dan selatan kraton Yogyakarta, berubah menjadi kanvas Lukisan Revolusi, atau "Revolusi dalam Lukisan", sepanjang dan setinggi tembok itu, yaitu panjang 2 km dan tinggi 4 m. Di bawah setiap bagian lukisan yang berangkai-rangkai itu bertanda atau "PTPI" atau "SIM", dan diikuti dengan nama si pelukis yang mengerjakannya, di antaranya Abdulsalam dan BR.

Di samping mempunyai SIM, Bagian Propaganda Biro Perjuangan Daerah XXV juga mempunyai "Petera" [Penghibur Tentara dan Rakyat], yang pada setiap Sabtu petang/malam memberi hiburan/tontonan berupa lagu kroncong dan hiburan, sebagai pendahuluan dan selingan untuk acara pokok yaitu pementasan cerita sandiwara.

Pertunjukan itu benar-benar untuk tentara dan rakyat, yang duduk membaur bersama-sama tanpa pandang pangkat dan kedudukan, siapa datang awal dia punya hak untuk mencari tempat yang dikehendakinya. Pertunjukan berlangsung di "Balai Prajurit" di Jalan Ngabean [sekarang Jalan KHA Dahlan], dan selalu diawali dengan "Lagu Petera" sebagai pembuka acara [lihat Catatan 1].

Lagu dan lakon sandiwara yang dihidangkan tentu saja selalu dalam semangat perjuangan untuk merebut dan membela kemerdekaan [misal: lagu Kr. "Sri Dewi Kemerdekaan", lagu sindiran terhadap para avonturir "Sepanjang Malioboro Raya" [lihat Catatan 2], lakon "Pertempuran Surabaya", "Norma Rantai Mas" dll]. Di trotoar depan gedung ini, setiap hari Jumat sudah dipasang "poster kepang" yang mencantumkan nama para aktor dan aktris yang akan tampil pada pementasan petang hari berikut. (Aktor dan aktris panggung Petera terkemuka ketika itu ialah Sasmito dan Rukinah, kedua-duanya kelak tokoh-tokoh ketoprak ‘Kridha Mardi’ Yogyakarta). Nama BR kembali kujumpai -- tentu saja bersama nama sutradara / penulis lakon yang produktif saat itu: Dahlan Lanisi. Lakon-lakon karangan Dahlan Lanisi kemudian juga terbit dalam bentuk buku-buku kecil oleh penerbit Tjenderawasih, Yogyarakarta.

BR kemudian saya kenal melalui sketsa-sketsanya di majalah BMKN (Badan Musyawarah Kebudajaan Nasional) "Indonesia", melalui omslag "Habis Gelap Terbitlah Terang" [Armijn Pane] dan "Atheis" [Achdiat Kartamihardja]. Itu saya temukan di sepanjang tahun-tahun sampai 1956, sebelum saya giat dalam Lekra. Sosok BR baru saya kenal langsung, ketika saya sudah memimpin Lekra Jawa Tengah. Kenal langsung, tapi dalam kedudukan dia sebagai "orang pusat" dan saya "orang daerah". Pengenalan saya hanya kadangkala jika saya sedang "ke pusat", dan dalam kedudukan hubungan ibarat antara "pamen" dan "pati", perwira menengah dan perwira tinggi!

Ternyata BR seorang yang lugu, apa adanya, kalau bicara suaranya lirih bernada halus [cenderung "klemak-klemèk", kata orang Jawa, sifat yang justru dibencinya!], tapi sorot matanya tajam menyinarkan wataknya yang keras. Jika ia marah, sinar matanya mendadak menyala-nyala, suaranya tetap lirih tapi nadanya menjadi tinggi dan kasar. Endapan khazanah hidup keseharian yang tertimbun dari kampung Tangkiwood (perkampungan aktor dan aktris panggung dan film tempo doeloe di bilangan Sawah Besar Jakarta) dan Pasar Senen yang ia susuri dan sisiri siang-malam, seketika membeludak dan mengalir seperti magma panas menyala. Ini pernah saya dengar – antara lain -- di Cidurian 19, ketika ia memaki-maki Joebaar Ajoeb [padahal yang dimaki tidak ada di hadapannya]; dan ketika ia mengejek Agam Wispi yang kencing (BR ‘memvonisnya’ sebagai ‘terkencing-kencing’) di belakang bis, ketika masyarakat Indonesia di Belanda sedang berunjuk-rasa di depan KBRI di Den Haag.

Wataknya yang lugu, apa adanya, lalu menggejala dalam perangai yang keras-kepala dan tindak-tanduk yang naïf - untuk tidak mengatakan "ngawur". Misalnya ketika ia, pertama, di Amsterdam merekrut anggota baru PKI dari kalangan orang muda Indonesia dan Belanda [!], dengan mengambil sumpah mereka di ruang keldernya pada tahun-tahun awal 1980; kedua, ketika di setiap kesempatan unjuk-rasa, di mana saja ia selalu berkalung karton lebar bertuliskan "P.K.I" (salah satu fotonya menjadi koleksi Komite Indonesia – sekarang disimpan di IISG/IISH [Lembaga Internasional untuk Sejarah Sosial?]); dan ketiga, ketika ia mendirikan "PKI Cabang Amsterdam" (sic!), beberapa hari sesudah berita eksekusi Ruslan Wijayasastra mencapai Belanda.

Namun, betapapun, semuanya itu menunjukkan tentang semangat dia yang tak pernah pudar, dan sikap serta komitmen dia pada ideologi dan perjuangan yang pantang surut.

Seniman Basuki Resobowo

Di mata kritikus sastra HB Jassin, BR adalah seorang pelukis ekspresionis, seperti juga kawannya satu angkatan: Affandi. Jassin justru tidak menyebut nama S.Sudjojono, selanjutnya SS, tokoh yang di sana-sini dalam buku BR "Seniman, Seni, dan Masyarakat", dijunjungnya sebagai seniman ekspresionis modern Indonesia paling matang dan utuh, dan justru itu SS diakuinya pula sebagai tokoh pelopor senirupa Indonesia modern. Tapi BR sendiri menolak disebut seniman ekspresionis. Katanya: "Aku tidak percaya 'isme' lain-lain, selain 'liberalisme pembebasan secara Barat'. Artinya aku hanya ingin betul-betul bersandar pada refleksi seni, yaitu harus langsung bisa menangkap hakikat obyek" [Seniman, Seni dan Masyarakat, hlm 100]. Kata-kata BR itu tidak berbeda dari pendapat Van Gogh yang mengatakan: [menjadi tugas seniman untuk melukiskan] "perasaan-perasaan manusiawi yang mendasar -- sukacita, dukacita, amarah dan rasatakut".

Kita tahu Van Gogh adalah datuk seniman ekspresionis yang paling wibawa di sepanjang sejarah dunia senirupa. Sejarah perjalanan ekspresionisme modern dalam senirupa, yang mencuat pada awal abad ke-20 itu, dapat dilacak kembali pada perkembangan senirupa di Eropa Barat [khususnya Perancis] dari akhir abad ke-19, tegasnya pada tahun 1880, yaitu pada tiga tokoh seniman terkemuka: Gauguin, Toulouse-Lautrec, dan Van Gogh [Lihat Catatan 3]. Tampil sebagai reaksi terhadap impresionisme, ekspresionisme sengaja lebih mengutamakan pengungkapan emosi atau perasaan secara intens, sehingga demi tujuan emosional dunia wujud alam nyata sengaja didistorsi dan didesak oleh bahasa simbol-simbol.

Sekitar medio tahun 1950-an, ketika saya mulai bergaul dengan para pelukis dari sanggar "Pelukis Rakyat" di Sentulreja dan sanggar "SIM" di "Pekapalan", di sudut timurlaut Alun-Alun Lor Yogya, saya mendengar dan merasakan betapa kawan-kawan pelukis – ‘anak-anak’ Hendra Gunawan dan SS itu – sangat mengagumi Gauguin dan terutama Van Gogh, dan berusaha memahami serta mempelajari karya-karya mereka. Terasa sekali betapa dalam pengaruh Van Gogh pada mereka. Dengan tidak mengurangi hormat saya pada Affandi, tapi lukisan "Matahari" Affandi yang unik itu sangat mengingatkan saya pada lukisan-lukisan "Bunga Matahari” Van Gogh. Lukisan "Sampan-sampan di Saint Marie-de la Mer" mengingatkan saya pada lukisan bertema sama dari Batara Lubis dan Juski Hakim -- tentu saja di atas latar yang berbeda, yaitu entah di Tambak Lorok Semarang atau di Batang Pekalongan.

Apalagi antara BR dan Van Gogh! Kedua mereka sama-sama suka melukis pemandangan dengan lembar-lembar awan menggelantung, kering kosong pada BR, dan gelap muram pada Van Gogh. Juga mereka sama-sama suka melukis manusia, entah dalam kelompok atau dalam sosok seorang diri, yang -- karena jeritan ekspresionisme mereka – selalu memberitakan kisah dramatik dari kerasnya kehidupan. Lihatlah, misalnya, "Aardappeleters" dan "Boerin bij het vuur zittend" pada Van Gogh, dan "Tanjidor" dan "Tukang Becak" pada BR.

Sebagai seniman "liar", sebelum giat di dalam Lekra, BR tidak bisa dipisahkan dari Chairil Anwar. Mereka pelukis dan sastrawan yang lahir dari satu jaman yang sama: Jaman Jepang. Keduanya mempunyai gaya pernyataan seni yang sama: ekspresionisme; keduanya mempunyai gaya pembawaan hidup yang sama, "gaya bohemian" yang bertitik rendez-vous yang sama: Pasar Senen. Chairil bergelandangan di tengah "akar rumput" sebagai kredo kesenimanannya untuk bisa berkata: "isi gelas sepenuhnya, lantas kosongkan". BR berbuat yang sama sebagai jalan untuk [mengikuti peristilahan dia sendiri] "meeleven" [ikut mengalami] dan "beleven" [ikut merasai] kehidupan "akar rumput", sebagai kredo dari pengakuannya sebagai seniman "kiri" malah lebih dari itu: seniman "marxis".

Dengan menggelandangkan diri di tengah akar rumput itu ia ingin, dalam kata-kata Van Gogh, menangkap "perasaan- perasaan manusiawi yang paling dasar".

Dari pengalamannya menghadapi kerasnya kehidupan di tengah kelompok seniman bohemian usai masa perang kemerdekaan sampai lahirnya Lekra, ditambah dengan pengalaman kerasnya perbenturan dengan sesama emigran ketika di RRT dan belakangan di Eropa Barat, khususnya di Belanda, BR memperoleh satu ungkapan penyimpul: "la vie est la misère" – hidup ialah derita.

Chairil tidak mau peduli dengan semuanya itu. Karena baginya "aku"-nyalah di atas segala-galanya. Dan "aku" Chairil itu adalah "aku" yang "binatang jalang", lebih dari itu bahkan “binatang jalang” yang "dari kumpulannya terbuang".

Adapun Van Gogh, yang kehidupan pribadinya terus-menerus dilanda frustrasi dan kepedihan, serta hidup di tengah arus puting-beliung pergantian abad yang dahsyat, barangkali bisa menangkap pesan kehidupan yang sama seperti BR. Tapi, berbeda dari BR, Van Gogh tidak bisa mengendalikan, apalagi mengatasi "la misère" kehidupan itu. Van Gogh mengakhiri hidupnya dengan menembak diri sendiri.

Adapun BR terus meneruskan langkahnya, meskipun dengan tertatih-tatih dan merasa diri sebagai "single fighter". Dan dengan congkaknya ia memandang SS dan Affandi dengan kecut, karena dalam anggapannya mereka ini telah hanyut dalam arus selera burjuasi.

Catatan:
[1]Lirik lagu ‘Petera’:

Petera, Petera / kini kami telah siap sedia / menghidangkan
hiburan / kepada tentara dan rakyat / Hiburan Petera / yang sederhana ini / mudah-mudahan semuanya / dapatlah berarti //

[2] Lirik lagu ‘Sepanjang Malioboro Raja’, lihat kata pengantar saya untuk novel Anita Kastubi, Ripta: Perjuangan Tentara Pecundang; Galang Press 2003.

[3] Sebagai ilustrasi, bandingkan dengan dunia seni sastra, yaitu bangkitnya "Angkatan '80" [De Tachtigers] di Belanda yang menjadi acuan setengah-hati atau secara oportunistik St Takdir Alisjahbana/Pujangga Baru. Angkatan '80 adalah tonggak kemenangan kaum burjuasi Eropa Barat, sesudah jatuh-bangun sejak Revolusi Perancis [1789], melalui Revolusi Juli 1830 dan revolusi Februari 1848, yang di Indonesia datang membawa "UU Agraria" (Agrarische Wet) 1870, dan politik penjajahan model baru yang berselubung "politik etis".

Takdir dkk hanya terpesona pada "Belanda yang maju", tapi tidak mampu atau

sengaja tidak mau menangkap semangat pembebasan burjuasi yang telah
menyulut api perang kemerdekaan nasional di Belgia, di negara-negara Afrika Utara. Lukisan "Hutan Terbakar" dan "Perkelahian Mati-Matian" Radèn Saleh, menurut interpretasi S.S, diilhami oleh semangat perang kemerdekaan di Afrika Utara itu, semangat pembebasan burjuasi Eropa Barat akhir abad ke-19.(Bersambung ke Bagian 2)


Sumber: Hersri Setiawan dalam Catatan Sekolah mBrosot

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...