Jumat, 20 Januari 2012 By: sanggar bunga padi

Tahanan Rumah

Sebelum akhir hayatnya, konon Ir. Soekarno, presiden pertama RI menjalani tahanan rumah. Ia tidak bisa bepergian kemana-mana karena langkahnya dibatasi secara ketat. Berbeda dengan tahanan kriminal yang dijebloskan ke balik terali besi, tahanan rumah tidaklah dikerangkeng. Namun bagi seorang aktivis, tahanan rumah saja sudah cukup menyiksa. Begitu pula yang dialami aktivis politik Myanmar, Aung San Su Kyi, yang cukup lama mendapat status sebagai tahanan rumah. Ia tidak bisa bertemu dengan para pendukungnya dalam partai apalagi dengan masyarakat biasa. Status tahanan rumah bagi dua orang di atas, sebagai contoh, adalah untuk membatasi gerak-gerik mereka yang dianggap bisa menganggu stabilitas negara atau pemerintah yang sedang berkuasa. Ada beberapa status tahanan yang pada hakekatnya membatasi sosialisasi seseorang dengan dunia luar. Pertama, tahanan dalam penjara. Kedua, tahanan rumah. Ketiga, tahanan kota. Ketiga jenis penahanan itu akan membatasi gerak-gerik dan sosialisasi seseorang dari lingkungannya yang luas secara wajar. Dalam kondisi seperti itu, ia tidak bisa berbuat banyak bagi sesama, kecuali dalam lingkup yang sangat terbatas. Namun ada orang yang secara sadar atau tidak sadar, memilih menjadi tahanan rumah. Ia membatasi gerak-geriknya hanya berkisar di rumah. Atau kalau dianalogikan, ada juga orang yang secara sadar atau tidak sadar, memilih menjadi tahanan kantor. Ia membatasi gerak-gerik dan sosialisasinya hanya sebatas di kantor. Orang-orang ini ialah orang-orang yang menyibukkan diri dengan berkutat di dalam rumah saja atau di kantor saja. Di masyarakat perkotaan yang seringkali sangat sibuk, ada orang-orang yang menjadi tahanan kantor dan tahanan rumah. Sepanjang hari ia bekerja di belakang meja kantornya. Pagi-pagi benar ia sudah harus pergi karena takut lalu lintas yang macet dan akan pulang hingga malam mulai larut karena pekerjaan kantor masih menyibukkannya. Sampai-sampai ia tidak sempat lagi bercengkrama dengan anggota keluarganya; istri dan anak-anaknya, jika ia telah berkeluarga. Jangan-jangan orang seperti ini, yang dijuluki workaholic, tidak sempat pula menyediakan waktu untuk tuhannya sehingga tidak sempat shalat. Sementara orang yang menjadikan dirinya sebagai tahanan rumah adalah orang yang merasa tidak perlu bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya. Tidak suka bergaul dengan para tetangga, tidak suka datang ke masjid atau surau di dekat rumahnya, bukan saja untuk beribadah mahdlah tapi juga untuk besilaturahmi dengan jamaah. Orang ini hanya berkutat di rumah saja meski sesungguhnya ia mempunyai potensi yang bisa diaktualisasikan dengan baik jika ia mau bergaul dengan masyarakat secara wajar. Orang ini hanya keluar untuk pergi sesuai keperluannya belaka kemudian pulang dan tenggelam dalam rumahnya. Di era modern dengan teknologi komunikasi dan informasi yang canggih, memang dimungkinkan orang menjalankan segala urusan hanya dengan bercokol di rumah. Tidak harus sibuk ke sana ke mari sebagaimana zaman dahulu. Namun yang terjadi kemudian adalah orang-orang merasa tidak perlu dengan orang lain secara fisik. Tidak perlu bertemu, bergaul, bersendaugurau sebagaimana wajarnya orang bermasyarakat. Tidak sempat atau tidak merasa perlu mengikuti organisasi sosial, baik yang bersifat keagamaan atau umum. Inilah yang kiranya dewasa ini mulai menggejala. Bahkan banyak anak-anak yang lebih suka main games (PS, game online) atau selalu menonton televisi di rumah dan tidak suka bergaul dengan anak-anak sebayanya di luar rumah. Padahal hakekat manusia adalah makhluk sosial. Sosial dalam arti yang sesungguhnya, yakni bergaul secara fisik juga, dan bukan hanya terhubung secara maya. Begitu pula sesuai hadis Nabi Muhammad saw, “khairunnasi anfa’uhum linnas”, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya. Tuntunan hadis Nabi ini tentu tidak akan terlaksana dengan baik jika kita memilih menjadi tahanan kantor atau tahanan rumah. Yakni memilih menjadi orang yang sepanjang hari disibukkan dengan pekerjaan di kantor atau di dalam rumah belaka dan tidak sempat bergaul secara baik dengan masyarakat di sekitar kita. Sungguh tidak nyaman jika anak kita sendiri memanggil kita sebagai “Om” karena ia tidak pernah melihat kapan kita berada di rumah lantaran saat kita pergi dan pulang si anak dalam kondisi sedang tidur. Dan tidak nyaman pula jika tetangga kita sendiri sampai merasa tidak kenal dengan kita lantaran kita selalu terbenam di rumah saja sepanjang hari. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...