Senin, 07 Maret 2011 By: sanggar bunga padi

Waktu Mundur yang Terbaik

Kekuasaan memang menggiurkan. Begitulah yang terjadi sejak dahulu kala. Raja-raja dan pemimpin bangsa berusaha bertahan dengan berbagai cara, agar tahtanya tidak lenyap dari pundaknya. Menjadi berkuasa berarti memenuhi aktualisasi diri ke tingkat yang tinggi dalam piramida kehidupan manusia versi Abraham Maslow. Dalam keadaan demikian, adalah wajar jika tidak ada orang yang secara suka rela, tulus ikhlas, melepas kekuasaan yang tengah dipegangnya. Jika pun harus melepas, maka biasanya karena ada peraturan yang membatasinya. Misalkan peraturan itu bisa dikendalikan untuk melanggengkan kekuasaannya, niscaya dia akan tetap dalam posisinya.

Iming-iming finansial tak pelak berpengaruh pada mengapa seseorang enggan turun dari panggung kekuasaan. Selain itu perasaan diri sebagai orang hebat, karena mampu mengalahkan para saingan dan mengendalikan banyak orang lain di bawahnya, adalah faktor kedua yang juga cukup signifikan. Faktanya, ada saja orang yang mengatakan bahwa organisasinya, bangsanya, tidak memberikan keuntungan finansial apa-apa kepada dirinya, toh ia tetap berteguh berada di pucuk pimpinan. Jangan bicara soal kekuasaan yang mendatangkan fulus, uang, itu sudah pasti bak kata pepatah, ”ada gula ada semut”. Dan semut yang sudah menguasai gula itu, mana rela melepaskannya begitu saja.

Kekuasaan juga sangat dekat dengan popularitas. Makin besar jangkauan kekuasaan yang didapatnya, makin populerlah ia di tengah-tengah masyarakat. Popularatis itu akan dapat mendatangkan previlege (hak istimewa) dan kesenangan batin tatkala banyak orang memuja-mujinya sebagai seorang tokoh.

Namun sungguh ketokohan itu sejatinya lebih pada integritas pribadi seseorang. Bukan pada kekuasaan yang dipegangnya. Berapa banyak para penguasa, tokoh-tokoh yang sebelumnya diagung-agungkan akhirnya terpuruk dalam kejatuhan yang fatal. Saat ini di dalam negeri dan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, tokoh-tokoh penguasa yang dahulu pernah disanjung-sanjung sedang menuju titik nadir. Tetapi kekuasaan, apalagi yang direngkuh dengan susah payah, selalu merayu untuk dipertahankan. Gambar-gambar para tokoh, para penguasa itu diperlakukan secara sadis. Padahal lazimnya gambar-gambar itu dipasang di rumah-rumah atau kantor-kantor dalam posisi yang mulia. Kekaguman orangpun berganti dengan kebencian.

Pada suatu kesempatan berbincang dengan H. AR Fakhruddin (mantan Ketua PP Muhammadiyah) saya bertanya secara lugu, siapakah sosok yang dikaguminya, ia menyatakan Nabi Muhammad SAW. “Karena beliau memang teladan bagi semua orang, terutama bagi kaum Muslimin, dan beliau sudah meninggal,” kata Pak AR, sapaan akrabnya. Bagian akhir ungkapan itulah yang cukup menarik, yakni bahwa karena beliau telah meninggal dunia. Dalam penjelasannya, Pak AR mengatakan, karena orang yang dikagumi itu telah meninggal dunia, maka tentu tak ada peluang lagi untuk berubah. Jika orang telah meninggal dunia, ia tinggal dikenang karena kebaikannya atau karena keburukannya.

Dalam sebuah hadis shahih riwayat Ath-Thabrani, Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu mengagumi amal seseorang sehingga kamu dapat menyaksikan hasil akhir kerjanya (amalnya).” (Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir/8025, Musnad al-Syihab al-Qadlo’i/941). Hadis ini tentu saja tidak menghalangi orang yang ingin menulis riwayat seseorang yang patut dijadikan tauladan. Dengan maksud mendorong pembacanya menirukan atau mengambil spirit kemajuan atau perjuangan hidup yang dialami orang yang ditulis. Hal yang ingin ditegaskan dalam hadis ini adalah bahwa orang tidak boleh mengagumi begitu rupa seseorang, apalagi bila orang itu masih hidup, karena riwayat hidup seseorang sebelum meninggal masih dapat berubah setiap saat. Orang yang semula dikagumi karena kejujurannya, bila ia masih hidup, mungkin saja suatu saat “terjebak” berbuat curang, sehingga melunturkan kehebatan prestasi sebelumnya.

Manusia tidak pernah tahu bilakah ia akan meninggal. Karenanya ia tidak bisa mengandalkan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya kemudian berhenti berbuat sembari menghitung bahwa pahalanya sudah cukup sebagai bekal di akhirat kelak. Sebuah pelajaran dapat ditarik dari cerita ini : seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan.

Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekadarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta oleh tuannya. Hasilnya bukanlah sebuah rumah yang baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. ”Ini adalah rumahmu,” katanya, ”hadiah dari kami.” Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah hal yang dapat saja terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan dan kurang bertanggung jawab. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan. Seandainya kita menyadarinya sejak semula, kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Bayangkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan 'rumah' yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan 'rumah' kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Dan waktu untuk mundur yang terbaik adalah tatkala kita berada pada prestasi yang baik, atau tatkala integritas pribadi kita masih dapat dibanggakan. Allahu a’lam. Zainul Arifin

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...