Rabu, 30 Maret 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 2)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS*
Lorong panjang yang mereka lewati mirip lorong tikus; sempit, pengap, kotor, berkelok-kelok. Tembok tebal yang membatasi sisi kiri dan kanan lorong --- sebagian semennya mengelupas, penuh corat-coret pilox menulis: nama orang, nama hewan, dan gambar-gambar mesum, jorok. Darah segar terpercik di tembok membentuk semacam lukisan abstrak. Tulang, entah tulang apa, seperti tulang manusia dan pecahan botol berserakan di lorong yang jika terinjak kaki akan menimbulkan suara gemeretak mirip tumpukan kayu terbakar. Lorong apakah ini? Lorong kematian? Ihh, Hasan ngeri jika ingat satu kata itu. Hasan belum ingin mati. Hasan masih ingin hidup. 
Entah sudah berapa jauh Hasan dan Salman menggerakkan kedua kakinya yang kian lama kian terasa berat. Sesekali Hasan dan Salman terengah kehabisan nafas. Tapi tiga orang bertopeng di belakang terus memaksa berjalan. Sesekali salah seorang di antara mereka menyodok punggung Hasan dan Salman dengan ujung senapan ketika Hasan dan Salman kedapatan berjalan terlalu pelan. Harus cepat. Harus sigap. Harus kuat. Tapi bisakah berjalan cepat dengan kondisi tubuh kesakitan? Dengan pikiran kalut, takut, dan terancam?
Hasan dan Salman tidak tahu dirinya akan digiring ke mana. Cahaya lampu di lorong panjang itu terlampau remang. Selain itu mereka tak boleh menoleh atau bercakap-cakap. Malam menjadi terasa seram mencekam.
Sambil memegangi kepalanya yang masih perih berdenyut-denyut, Hasan tiba-tiba teringat Fatma, gadis cantik yang tiga bulan lagi rencananya akan ia sunting. Ah, sedang apakah dia? Mungkinkah masih tidur? Atau justru tak bisa tidur karena ingat diriku? Hasan membatin seraya merutuki nasibnya yang hari ini teramat sial. Hasan menyesal kenapa tadi pagi membatalkan kunjungannya ke rumah Fatma, sebaliknya justru ikut ajakan Salman menghadiri rapat di rumah Teuku Malik.
Hasan tidak tahu rapat apa, sebab Salman tidak menjelaskan secara rinci. Salman hanya bilang bahwa rapat itu penting dihadiri  anak-anak muda seperti dirinya yang kelak akan meneruskan perjuangan para pahlawan yang telah mati di medan perang. Hasan bingung, perang apa yang dimaksud Salman? Pahlawan siapa yang dimaksud Salman? Tapi, kebingungan itu hanya ia pendam dalam hati. Ia tak mau terlihat bodoh di depan Salman.
          "Duduk!" terdengar salah seorang bertopeng bersuara. Berat. Kasar.
Hasan kaget. Lamunannya buyar. Hasan kemudian menggosok-gosok mata untuk memperjelas penglihatannya. Tapi, memang, sejak berada di ruangan pengap ukuran tiga kali tiga tadi ia sudah merasakan pandangannya tak pernah bisa terang. Hasan terus menggosok-gosok matanya berharap pandangannya bisa lebih jelas.
Ya. Kini Hasan bisa melihat lebih jelas: sebuah ruangan cukup luas dan bersih terhampar disekelilingnya. Dua buah meja panjang dan beberapa kursi pendek berada dalam ruangan itu. Sebuah kalender tergantung di dinding, sebagian angkanya disilang dengan spidol merah. Entah apa maksudnya. Beberapa gelas kosong, teremos, jarum suntik, pisau, gunting, koran dan sebungkus rokok tergeletak di atas meja. Hasan tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang bertopeng itu pada dirinya. Dipukul? Ditendang? Diinjak-injak? Dihantam? Ataukah dibunuh?
 Hasan malas menebak. Yang jelas selama ini Hasan tak pernah tahu apa maksud pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang-orang bertopeng itu. Semua pertanyaan terdengar begitu asing di telinganya. Makar? Inskontitusional? Kiri? Marxis? Apa pula semua itu? Karenanya Hasan sering jujur, menjawab tidak tahu setiap apapun yang memang tidak ia ketahui. Tapi ternyata dalam kondisi seperti ini kejujuran saja tidak cukup. Bahkan kadang justru berakibat fatal. Kepalanya sering menjadi  bulan-bulanan orang-orang bertopeng yang mengintrograsinya. Ditempeleng, ditampar atau sekadar disorongkan ke kiri ke kanan persis bola pingpong.
Sekilas Hasan melirik Salman. Lengan Salman masih merembes cairan merah tergores pecahan kaca. Kepala Salman terpekur menatap lantai. Apa yang sedang dipikirkan Salman? Diam-diam Hasan heran, Salman tampak jauh lebih tenang dan santai. Ah, kenapa Salman bisa begitu tenang? Tidak gelisah atau takut? Berbagai macam pertanyaan tiba-tiba memenuhi kepala Hasan.
Seseorang masuk ke dalam ruangan membawa bungkusan plastik hitam. Langkahnya tegap, tapi penuh kehati-hatian. Meletakkan bungkusan plastik itu di atas meja lalu berbisik-bisik sebentar dengan beberapa orang di situ.  Hasan tidak tahu apa yang dibisikkan orang itu. Berulangkali Hasan berusaha melirik wajah orang itu. Tapi Hasan kecewa, sebab wajah orang itu juga ditutup kain hitam, seperti Ninja. Hanya terlihat bola matanya yang hitam mencorong seperti mau melesat keluar.
Kembali Hasan menunduk, mengikuti apa yang dilakukan Salman menatap lantai kusam di bawah. Tapi mendadak, di situ, lagi-lagi Hasan melihat bayangan Fatma, kekasihnya, tersenyum menari-nari. Hasan tertegun menatap tak berkedip. Dalam hati Hasan merasa berdosa sekali. Hasan tahu besok atau lusa Fatma  sudah harus kembali ke kota untuk bekerja. Kapan lagi aku bisa ketemu dengan Fatma? Kapan? Jika sampai pagi nanti aku masih ditahan orang-orang bertopeng itu, sudah pasti aku tak akan bertemu dengan Fatma. Mungkin harus menunggu satu atau dua bulan. Ah, betapa lamanya. Batin Hasan penuh kecewa. 
Hasan bertekad jika nanti dibebaskan akan segera menyusul Fatma ke kota. Ia akan minta maaf pada Fatma karena tidak bisa datang ke rumahnya. Ia yakin Fatma pasti mau memafkan dirinya. Tapi, ah, kapan aku dibebaskan? Kapan orang-orang bertopeng itu mau membiarkan aku pergi dari sini? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika melempar ingatan Hasan pada Salman yang duduk tenang disampingnya. Jika saja ia tak mengikuti ajakan Salman tentu kejadiannya tidak seperti ini.
Memang, tadi berkali-kali Salman sudah minta maaf pada dirinya. Dan ia memaafkan Salman. Tapi itu sebenarnya belum cukup. Yang ia inginkan saat ini adalah keluar dari tempat terkutuk ini. Lalu pulang. Ia sudah tak sabar ingin segera ketemu Ibu di rumah yang pasti gelisah, bingung mencarinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perempuan tua yang sudah sering sakit-sakitan itu harus berjalan jauh mendatangi rumah tetangga atau saudara untuk menanyakan keberadaannya. Pasti mereka juga tidak ada yang tahu. Tempat itu terlalu sepi. Ia yakin tak ada seorangpun yang melihat kejadian ketika empat orang bertopeng menculik dirinya. (bersambung)

* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll.
Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...