Minggu, 12 Desember 2010 By: sanggar bunga padi

Bukumu Mungkin Akan Mengubah Hidupnya

Frank McCourt, penulis buku Teacher Man dan Angela’s Ashes, punya kenangan tersendiri tentang sebuah buku yang mengubah jalan hidupnya.

Saat berusia 10 tahun, Frank didera tifus yang mengharuskannya dirawat di rumah sakit. Di kamar tempatnya dirawat, ada seorang gadis berusia 14 tahun yang juga sedang dirawat karena penyakit difteri. Gadis itu meminjami Frank dua buah buku, salah satunya buku sejarah ringkas Inggris. Frank membaca buku itu dan menemukan sekuplet kalimat Shakespeare yang berbunyi: “I do believe, induced by potent circumstances That thou art mine enemy.”

Frank mengaku tidak tahu sepenuhnya apa arti dan makna kalimat yang dibacanya itu. Tapi, seperti pengakuannya, ia merasakan keajaiban dari kalimat itu. Dengan nada yang plastis, seperti terbaca dalam buku The Book That Changed My Life, Frank menulis: “It’s like having jewels in my mouth when I saw the words.”

Frank adalah anak pasangan Irlandia yang hijrah ke Amerika pada 1930-an. Kondisi ekonomi keluarga yang buruk membuat Frank sekeluarga harus tinggal berdesak-desakkan di sebuah apartemen yang sempit, seringkali harus kena bocor air hujan.

Di bagian awal Angela’s Ashes, Frank dengan pedih mengenang masa kecilnya itu. Katanya, “Saat saya mengenang kembali masa-masa kecil dahulu, saya masih kadang bertanya bagaimana bisa saya selamat dari semua situasi buruk itu?”

Frank menemukan kekuatan dalam menghadapi kesulitan hidup itu melalui –salah satunya dan terutama– kesusastraan. Untuk satu hal terakhir ini, Frank selalu mengenang satu masa yang telah jauh saat ia harus dirawat di rumah sakit karena tifus yang dari sanalah Frank berjumpa dengan sebuah buku yang memberinya sebuah kutipan yang –sedikit banyak– membantunya tegar dan dari sana pelan tapi pasti mengubah jalan hidupnya.

Apa yang akan terjadi jika Frank tidak terserang tifus? Apa yang akan terjadi jika tak ada gadis yang meminjaminya buku yang mencantumkan kutipan Shakespeare itu?

Saya tak tahu, karena sejarah memang tak pernah mengenal pengandaian. Tapi dari kisah itu kita bisa memetik sebuah pelajaran bagaimana sebuah buku bisa membantu seseorang bertahan dan bisa pula mengubah jalan hidup seseorang. Dari kisah itu pula Frank seperti hendak berkata: “Sebuah buku yang akan mengubah jalan hidup itu bisa datang dari mana saja dan dengan cara apa saja.”

Saya akan selalu ingat satu sore 10 tahun lalu saat seseorang datang ke hadapan saya membawa novel Rumah Kaca karangan Pramoedya Anantar Toer. Dia meletakkannya begitu saja seakan-akan meminta saya untuk membacanya. Saya membacanya saat itu juga, mula-mula karena iseng. Tapi saya tak berhenti. Saya terus membacanya sampai selesai.

Berikutnya, saya langsung memburu tiga novel pertama yang mendahului Rumah Kaca yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah. Ya, saya membaca Tetralogi Buru dengan urutan yang terbalik.

Ketika saya membaca novel-novel di atas, saya merasa betapa sejarah begitu kuat dan menarik sekali. Tidak pernah saya merasakan begitu nikmat membaca cerita sejarah. Sejarah tidak akan pernah membosankan jika ia dihadirkan dengan cara yang memikat dan mempesona.

Momennya sangat tepat ketika itu. Saya baru saja membeli formulir UMPTN yang belum terisi. Saya sudah kuliah semester 2 ketika itu dan merasa ingin mencari peruntungan lain dengan ikut UMPTN kembali. Tanpa rasa ragu lagi, setelah menyelesaikan Rumah Kaca dan Bumi Manusia, saya memutuskan untuk mengisi kolom studi di formulit UMPTN itu dengan Program Studi Ilmu Sejarah. Dua kolom saya isi dengan Program Studi yang sama tapi dengan kampus yang berbeda.

Sejak itu, jalan hidup saya pun berubah. Barangkali jalan hidup itu tidak berubah secara dramatis dan drastis, tapi tak bisa disangkal: arahnya menjadi berbeda, penghayatannya juga berbeda.

Apa jadinya jika sore itu tidak ada yang sekonyong-konyong membawa Rumah Kaca ke hadapan saya? Saya tidak tahu, saya tidak akan pernah tahu, karena –sekali lagi– sejarah tak mengenal kata “andai”.

Sebuah buku, saya percaya, adalah sejenis organisme hidup yang bergerak dengan takdirnya sendiri-sendiri, jalan hidupnya masing-masing. Ia akan datang pada seseorang di waktu yang tepat dengan cara yang mungkin tidak disengaja dan tak pernah diduga.

Cobalah tengok koleksi buku Anda dan perhatikan berapa banyak buku yang tak pernah Anda baca atau mungkin tak lagi menarik minat Anda. Tapi siapa yang tahu jika buku-buku itu ternyata akan mengubah hidup seseorang?

Sumbangkanlah bukumu dan biarlah buku itu sendiri yang memilih pada siapa dia akan berkata-kata dan pada pembaca yang mana buku itu memancarkan daya pengaruhnya.

Kelak, bertahun-tahun kemudian, mungkin ada seseorang yang tak pernah Anda kenal akan berterimakasih pada Anda, seperti Frank McCourt berterimakasih seumur hidupnya pada gadis 14 tahun yang meminjaminya buku di sebuah kamar rumah sakit.

“Takdir itu,” kata Jostein Gaarder dalam novel Misteri Soliter, “Seperti kembang kol yang tumbuh sama panjang ke segala arah.”

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...