Kamis, 27 Januari 2011 By: sanggar bunga padi

Basuki Resobowo: Bercermin Di Muka Kaca -- Seniman, Seni, dan Masyarakat (Bagian Terakhir)

Seniman, Seni, dan Masyarakat

Pada tahun 1947 pernah terbit sebuah buku tipis, berformat A-4 berkulit hijau dengan judul mirip: Seni, Seniman dan Masyarakat. Semacam bunga-rampai esai dari beberapa seniman dari berbagai bidang seni dan kebudayaan, tapi yang paling penting adalah karangan SS yang berjudul sama seperti judul buku bunga-rampai ini.

Dalam esainya ini SS ingin menegaskan tentang hubungan dan peranan timbal-balik antara seni, seniman dan masyarakat, yang dalam hubungan ini ia –- antara lain -- mengemukakan dalil-dalilnya, bahwa "seni ialah jiwa yang kétok"; "yang benar selalu indah", dan sebaliknya "yang indah tidak selalu benar".

BR dengan "Seniman, Seni, dan Masyarakat" [1994], yang ditulisnya hampir setengah abad sesudah esai SS [1947], mengajukan pendiriannya dengan lebih tegas. Yaitu bahwa "seni" dan "politik" tidak bisa saling dipisahkan, dan bahwa seni harus dijiwai "Marxisme" jika hendak mengabdi kepada rakyat --walaupun ia tidak cukup jelas memberikan uraian tentang “Marxisme” yang harus diabdinya itu.

Ditilik dari sudut tema, esai panjang BR ini bukan lagi perihal baru. Prapanca menulis “Negarakertāgama” sengaja untuk persembahan bagi penguasa politik yang diabdinya, yaitu raja Hayam Wuruk. Sedah dan Panuluh menyadur beberapa parwa Bharatayuddha, untuk mengagungkan junjungan mereka, Jayabhaya, raja Kediri. Ranggawarsita dipecat dari kedudukannya sebagai pujangga penutup kraton Surakarta, dan pulang kembali ke kediamannya di kampung Kedunglumbu, Surakarta, karena dua kitab karangannya "Sabdatama" dan "Sabdajati" yang tidak menjadi perkenan raja.

Pendek kata sudah sejak "jaman klasik" sastra dan politik sudah sama-sama hidup dalam satu tarikan napas yang sama. Seakan-akan tanpa soal. Seolah-olah memang begitulah semestinya. Pujangga Empu Sedah dihukum kisas, Juru Sungging Prabangkara dibuang dari telatah kerajaan, Pujangga Ranggawarsita dipecat dari jabatan.

Semua itu peristiwa politik. Tidak pernah "dibikin rame". Politik dalam kaitan seni "menjadi perkara" dan "dibikin rame" sejatinya baru sejak "kemarin sore", yaitu sejak tanggal 17 Agustus tahun 1950 ketika Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat] lahir dan bergerak, menguliti musang berbulu domba "Sticusa" [Stichting voor Culturele Samenwerking], yang tidak lain berarti "menggempur" sisi kulturil dari butir-butir isi Perjanjian KMB.

Lekra lalu dituding sebagai bencana pembawa hantu-politik di dalam seni, pertama-tama dan terutama oleh jubir Sticusa yang bernama Wiratmo Sukito.

Lekra memang bukan sekedar organisasi kebudayaan. Tapi pertama-tama dan terutama ia adalah gerakan politik kebudayaan [Lihat Catatan 4] atau gerakan kebudayaan yang berpolitik. Justru karena itulah rezim militer Orde Baru tidak mau berlambat-lambat bertindak. Segera sesudah Lekra dilarang, pimpinan dan anggotanya dibunuhi, diburu dan dipenjarakan, "Uril" [Urusan Moril] segera dibentuk di kesatuan-kesatuan militer/AD, termasuk di Kostrad dan Kodam-Kodam. Para seniman ternama, dan juga dalang kondang, segera dihimpun -- baik di pusat maupun di daerah-daerah -- termasuk Sampan Hismanto, F.X. Sutopo [pencipta lagu seriosa "Lebur"], Ki Nartosabdo dan banyak tokoh seniman lainnya. Mereka itu masing-masing lalu diberi pangkat tituler Letnan I.

Memang benar bahwa rezim Orde Baru telah membersihkan politik "kiri" dari dunia seni. Tapi bukannya "seni non-politik", seperti dalih politik kaum Manikebu, yang hendak dibangun oleh rezim Orde Baru ini. Melainkan justru seni yang sarat dengan politik - tentu saja politik Orba bin Golkar bin Militer (AD)! Sedemikian rupa sehingga tapol dalang (alm.) Tristuti Rachmadi Suryosaputro BA pun, harus ikut berkampanye pemilu di Desa Savanajaya Unit IV Pulau Buru – yang notabene unit tapol! -- dengan mempergelarkan lakon "Wahyu Waringin Kencana". Perhatikan nama lakon lakon-pesanan ini: “Waringin”, tentu saja lambang Golkar, dan “kencana” ialah mas – artinya pohon beringin yang satu ini bukan beringin sembarang beringin!

Di atas latar belakang dunia seni di tanahair yang demikian itu, maka esai panjang BR sejatinya membawa pesan yang [maaf!] sudah usang. Malahan sudah sekian tahun berlalu Ariel Heriyanto, melalui "sastra kontekstual", berusaha mendudukkan kembali komitmen sosial sastra dan seni, Mas Oyik [Satyagraha Hoerip alm.] sudah sekian lama dituduh sebagai membangun "Neo Lekra", dan "sastra perlawanan" Widji Thukul telah marak berkibar-kibar.

Pada tahun 1994, ketika BR di Belanda menulis esainya, para seniman dan sastrawan "a-politik" di tanahair sudah kehilangan dalih untuk menolak politik dalam seni. Melawan tidak mampu, menerima tidak mau. Apakah karena itu, maka sebagian mereka lalu mencari trobosan masuk pasaran seni dan sastra dengan mengeksplorasi seks, sekaligus untuk mempedaya [kalau malah bukan mentorpedir secara halus] wacana gender dan feminisme yang sedang marak.

Mengapa BR menulis tema tua "seni, seniman dan masyarakat"? Pertama, sebagai bagian dari serangkaian panjang tulisan-tulisannya tentang seni dan kebudayaan. Kedua, terdorong oleh dua alasan. Alasan pertama, ia naik-pitam terhadap mentornya, SS, yang ditudingnya telah "memisahkan seni dari politik".

Mengamati selisih pendapat dua seniman kiri [marxis] ini saya menjadi bingung. Sementara SS berkata "melukis di mana pun bisa", BR berkata "tanpa lahan tanahair pelukis akan kekeringan". Siapa di antara mereka yang benar-benar seniman marxis. SS tidak salah, jika kita berpegang pada dalil, bahwa "menjadi marxis berarti sekaligus menjadi internasionalis". Itu berarti, bahwa "cinta tanahair" sesungguhnya bukan berarti "cinta tanah" dan "cinta air" di mana seseorang tinggal, melainkan harus berarti "cinta rakyat" di mana seseorang tinggal. BR tentu tidak bisa menyalahkan dalil ini. Tapi, sampai di sini, barangkali BR merasa dihadapkan pada dua masalah besar yang sulit dia jawab. Pertama, rakyat Belanda [atau Eropa Barat] itu yang mana; dan, kedua, seandainya pun pertanyaan ini sudah terjawab, bagaimana untuk bisa "meeleven" dan "beleven" bersama rakyat setempat dengan kemampuan berbahasa yang "pas-pasan".

Kenyataannya BR memang lalu lebih banyak menulis ketimbang melukis, lebih banyak melukis karikatur "masyarakat sendiri" [masyarakat emigran/eksil Indonesia] ketimbang melukis sketsa. Seperti halnya Agam Wispi lebih banyak membikin sajak-sajak eksperimen dalam bentuk satu-dua baris ‘sasafas’ [akronim ciptaannya untuk ‘sajak satu nafas’], atau sajak-sajak kaleidoskopik "amstel-amsteledam-amsterdam" (lihat tulisan saya ‘Sastra Eksil Indonesia’).

Alasan kedua, kekesalan BR pada sesama kawan "emigran politik" [Seni, Seniman dan Masyarakat, hal. 66-85), yang terbukti lebih panjang dari bab-bab terpenting buku ini, yaitu "Seni dan Politik" (hal.10-19), dan "Marxisme dalam Seni" (hal. 19-24]. Perbedaan pandangan dan sikap BR dengan sesama eksil atau emigran setanah-air ditegaskannya melalui kalimatnya yang menyatakan: "menjadi emigran politik bukan suatu korban atau nasib risiko perjuangan, tapi justru menjadi tanggungjawab daripadanya" (hal. 67). Sementara itu kawan-kawannya sesama emigran di mana-mana dengan suara tinggi selalu mengaku diri dan menyatakan sebagai "korban orde baru".

Catatan:
[4] Sebagai ilustrasi saya ingin bercerita sedikit tentang Suyud, pencipta lagu dan tari Jawa, antara lain, "Blanja Wurung". Begitu juga tentang lagu "Ayo Maju", ciptaan Djoni Trisno [anggota sanggar "Pelukis Rakyat"].

Melalui karyanya “Blanja Wurung” (Urung berbelanja) Suyud bukan hanya ‘memotret’ situasi masyarakatnya pada saat itu, tapi juga untuk menggugah masyarakat (rakyat miskin) agar ‘bersuara’. Ini kentara melalui dua kata di dalam lirik lagunya yang beberapa kali diulang-ulang: ‘rega mudhun, rega mudhun …’ (harga turun, harga turun …!).

Sedangkan ‘Ayo Maju’ Djoni Trisno ‘diilhami’ oleh teriakan bersahut-sahutan para pedagang tape singkong, yang berlomba-lomba dengan sepeda turun dari Gunungkidul masuk kota Yogya. Tapi didahului oleh lirik pembuka lagu ‘fajar di timur merah terang’ nuansa sosial politik lagu ini menjadi kentara, dan lebih ‘kental’ ketika lagu ini dipakai dalam kampanye pemilu PKI tahun 1955 di Yogya, ‘yo ayo maju’ lalu diganti ,menjadi ‘yo ayo nyoblos, ayo nyoblos palu-arit …’


Sumber: Hersri Setiawan dalam Catatan Sekolah mBrosot

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...