Sebagai sebuah ibadah yang sirr (tidak kelihatan) maka puasa adalah ujian untuk sebuah kejujuran. Inilah yang selalu menjadi taushiyah para ustadz di malam-malam tarawih atau ceramah subuh. Tapi bisakah kita benar-benar berbuat jujur?
Jujur, jika kita dapat samakan dulu maknanya adalah tidak berkhianat, tidak berlaku curang, dan tidak mencuri hak orang lain. Sedangkan kejujuran berarti memiliki kesadaran terhadap sesuatu yang dianggap benar dan appropriate (benar) dalam peran (role), perilaku (behavior) dan hubungan (relationship). Nilai kejujuran ini merupakan nilai moral terpenting dan entry untuk mencapai nilai-nilai lain seperti friendship, loyalty dan respect. Jujur juga berimplikasi bahwa seseorang dapat dipercaya dan tidak mengkhianati kepercayaan orang lain, sehingga bersikap jujur membuat nyaman hubungan seseorang dengan orang lain. Demikian dinyatakan Reni Akbar Hawadi, Psikolog, Ketua Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI.
Namun, yang terpenting adalah jujur membuat nyaman diri sendiri. Bukankah jujur adalah fitrah? Citra Tuhan? Dan indikatornya adalah hati sanubari. Jika seseorang berlaku sesuai sanubarinya, maka hidupnya akan tenang dan nyaman. Jauh dari stress. Sebaliknya jika berlawanan, individu akan mejadi stress. Hubungan dengan orang lain jadi tidak nyaman, karena harus selalu melakukan kebohongan-kebohongan.
Dalam praktiknya, kebanyakan orang ingin cari aman. Jadi, kalau ada yang melenceng, mereka biasanya bicara di belakang. Tidak berani terang-terangan menegur atau bersuara. Selanjutnya, karena tak mau ribut, perilaku tidak jujur seseorang didiamkan saja, dan tidak ada sanksi. Sehingga, seolah mendapat reward. Perilaku curang itu diikuti orang lain bagai virus yang menjalar. Akibatnya, virus itu merasuk ke kepribadian setiap orang. Menjadi perilaku-perilaku curang, seperti mahasiswa menyontek, menyadur tanpa mengutip referensi. Pedagang menimbang dengan ukuran yang tidak benar. Politisi yang mengumbar janji, begitu dapat kursi lupa dengan janjinya. Suami, nikah diam-diam tanpa beritahu istri, atau mengaku perjaka Jadi, banyak contoh bahwa bangsa kita banyak tidak jujurnya. Karena itu, tak heran jika bangsa Indonesia menjadi bangsa terkorup nomer satu.
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda: "Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman, 'Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku.' Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kesturi."
Terkandung dalam hadis di atas penghargaan yang besar dari Allah kepada orang-orang yang berpuasa. Karena puasa itu mengandalkan kejujuran seseorang yang hanya diketahui oleh dirinya dan Tuhannya, maka Allah yang akan langsung membalasnya.
Dewasa ini nilai-nilai kejujuran kian menipis di masyarakat. Bahkan ada kenyataan, orang yang ingin menegakkan kejujuran justru mendapat perlawanan karena menghilangkan ”suatu kenikmatan” dari orang lain. Orang yang terbiasa menikmati buah ketidakjujuran, akan merasa terusik dengan ucapan seorang yang jujur. Karenanya tidak heran jika ada ungkapan, ”Kebenaran seringkali diperkosa oleh sikap diam.” Sebuah kebenaran menjadi sia-sia jika ia tidak diungkapkan. Sebuah bukti, fakta, tidak akan berkata apa-apa jika ia ditindas dan tidak diberi kesempatan menjadi saksi.
Bulan Ramadhan inilah suatu saat yang diberikan oleh Allah untuk membangkitkan kejujuran itu. Karena membangkitkan kejujuran bukanlah perkara mudah, maka Allah pun memberikan banyak reward (hadiah) kepada orang-orang yang belajar menjadi jujur melalui ibadah puasanya. Apakah kesempatan ini akan dilewatkan begitu saja oleh mayoritas penduduk di negri ini? Dan membiarkan negeri kita tetap terpuruk sebagai negara terkorup? Semoga tidak. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...
Namun, yang terpenting adalah jujur membuat nyaman diri sendiri. Bukankah jujur adalah fitrah? Citra Tuhan? Dan indikatornya adalah hati sanubari. Jika seseorang berlaku sesuai sanubarinya, maka hidupnya akan tenang dan nyaman. Jauh dari stress. Sebaliknya jika berlawanan, individu akan mejadi stress. Hubungan dengan orang lain jadi tidak nyaman, karena harus selalu melakukan kebohongan-kebohongan.
Dalam praktiknya, kebanyakan orang ingin cari aman. Jadi, kalau ada yang melenceng, mereka biasanya bicara di belakang. Tidak berani terang-terangan menegur atau bersuara. Selanjutnya, karena tak mau ribut, perilaku tidak jujur seseorang didiamkan saja, dan tidak ada sanksi. Sehingga, seolah mendapat reward. Perilaku curang itu diikuti orang lain bagai virus yang menjalar. Akibatnya, virus itu merasuk ke kepribadian setiap orang. Menjadi perilaku-perilaku curang, seperti mahasiswa menyontek, menyadur tanpa mengutip referensi. Pedagang menimbang dengan ukuran yang tidak benar. Politisi yang mengumbar janji, begitu dapat kursi lupa dengan janjinya. Suami, nikah diam-diam tanpa beritahu istri, atau mengaku perjaka Jadi, banyak contoh bahwa bangsa kita banyak tidak jujurnya. Karena itu, tak heran jika bangsa Indonesia menjadi bangsa terkorup nomer satu.
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda: "Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman, 'Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku.' Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kesturi."
Terkandung dalam hadis di atas penghargaan yang besar dari Allah kepada orang-orang yang berpuasa. Karena puasa itu mengandalkan kejujuran seseorang yang hanya diketahui oleh dirinya dan Tuhannya, maka Allah yang akan langsung membalasnya.
Dewasa ini nilai-nilai kejujuran kian menipis di masyarakat. Bahkan ada kenyataan, orang yang ingin menegakkan kejujuran justru mendapat perlawanan karena menghilangkan ”suatu kenikmatan” dari orang lain. Orang yang terbiasa menikmati buah ketidakjujuran, akan merasa terusik dengan ucapan seorang yang jujur. Karenanya tidak heran jika ada ungkapan, ”Kebenaran seringkali diperkosa oleh sikap diam.” Sebuah kebenaran menjadi sia-sia jika ia tidak diungkapkan. Sebuah bukti, fakta, tidak akan berkata apa-apa jika ia ditindas dan tidak diberi kesempatan menjadi saksi.
Bulan Ramadhan inilah suatu saat yang diberikan oleh Allah untuk membangkitkan kejujuran itu. Karena membangkitkan kejujuran bukanlah perkara mudah, maka Allah pun memberikan banyak reward (hadiah) kepada orang-orang yang belajar menjadi jujur melalui ibadah puasanya. Apakah kesempatan ini akan dilewatkan begitu saja oleh mayoritas penduduk di negri ini? Dan membiarkan negeri kita tetap terpuruk sebagai negara terkorup? Semoga tidak. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)