Kamis, 11 Agustus 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Tidak Sekadar Minimalis

Salah satu keistimewaan ibadah shoum atau puasa adalah banyak orang yang ingin melaksanakannya meski ibadah lain tidak dilaksanakannya. Walupun shoum itu pun nanti pada akhirnya hanya ia laksanakan di awal dan di akhir. Tetapi ada hasrat untuk ikut pada awalnya. Contoh paling mudah, anak-anak kecil ada yang gembira ketika bulan Ramadhan tiba karena ia akan melaksanakan puasa. Padahal di waktu lain, kalau ia disuruh shalat saja sulitnya bukan main. Anak-anak kita, yang merasa sudah kuat menahan lapar dan haus, ikut bangun malam dan bersantap sahur untuk kemudian melaksanakan puasa di siang harinya, semampunya. Tetapi pada waktu Dzuhur atau ‘Ashar, kalau di suruh melaksanakan shalat belum tentu segera dilaksanakan. Padahal pelaksanaan shalat sesungguhnya lebih ringan ketimbang puasa yang haus dan lapar. Mengapa demikian?

Secara psikologis ternyata ada kecenderungan manusia untuk memperlihatkan keperkasaannya. Ketahanan fisiknya. Tetapi belum mentalistasnya. Anak-anak kecil yang ikut berpuasa, ingin mempertontonkan bahwa meski dirinya masih kecil tetapi secara fisik kuat. Ia tidak ingin dunia melihatnya sebagai orang yang lemah. Begitu pula orang-orang yang jarang shalat, pada waktu Ramadhan tiba ada juga yang merasa harus berpuasa – meski kadang tidak sebulan penuh, untuk menunjukkan bahwa ia orang yang kuat. Masak hanya menahan lapar dan haus satu hari saja tidak bisa.

Begitulah, ada orang yang melaksanakan puasa sebatas fisik semata. Bukan karena ia diet, tetapi sekadar untuk menunjukkan bahwa menahan lapar dan haus adalah sesuatu yang ringan baginya. Baginya, shalat, zakat adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan puasanya. Puasa demikian adalah puasa minimalis. Manfaatnya mungkin hampir tidak ada, apatah lagi pahalanya.

Kini bulan Ramadhan datang lagi. Seperti waktu-waktu yang lalu, kita melaksanakan puasa dan amaliah Ramadhan lainnya. Yang menjadi pertanyaan : apakah puasa kita meningkat dari waktu ke waktu? Kalau puasa kita tahun yang lalu, maaf, masih seperti puasanya anak kecil dalam contoh di atas, apakah tahun ini dapat meningkat menjadi lebih berkualitas? Yakni meningkatkan mental spiritual pribadi kita. Shalat menjadi lebih berat dilaksanakan karena shalat adalah perlambang kepasrahan kita kepada Allah SWT, sebagai Tuhan Yang Menguasai kita. Setiap manusia mengidap suatu kesombongan, karenanya akan menjadi sulit bagi dirinya untuk tunduk dan pasrah kepada orang lain, kepada ”sesuatu yang lain”, meski kepada Tuhan sekalipun. Kesombongan seperti ini memang hanya dapat diruntuhkan dengan kesadaran diri betapa dha’ifnya manusia. Jika kesadaran tiba, maka shalat itu akan mudah baginya. Dan puasa Ramadhan adalah salah satu sarana untuk memberikan penyadaran itu. Karena puasa yang tidak disertai keimanan dan kepasrahan adalah sia-sia belaka.

Orang yang melaksanakan puasa dengan baik, diketahui meningkatkan akal budi dan pikirannya menjadi lebih bijaksana, menjadi lebih filosofis. Dalam keadaan lapar dan haus, pemikiran orang meningkat dari hal-hal yang fisik menjadi lebih abstrak. Ia lebih mampu bertafakkur akan ayat-ayat Allah dibanding hari-hari lain di luar puasa. Maka tidak mengherankan kalau alim ulama dahulu adalah orang-orang yang kuat mengamalkan shoum di luar bulan Ramadhan terlebih lagi di bulan Ramadhan.

Jika sebagian besar orang yang melaksanakan shoum, baik Ramadhan atau di bulan lain dapat meningkatkan kualitas puasanya, dari sekadar fisik menjadi pembentuk mentalitas dan lebih filosofis, insya Allah kedamaian akan kian terasa. Orang tidak akan terbelenggu oleh gemerlap keduniaan, tetapi terpikat oleh enerji ketuhanan.

Puasa demikian hanya akan tercapai jika ia melaksanakan puasa Ramadhan ini berlandaskan keimanan – keterikatan kepada Allah SWT semata (tamassak billah) dengan cara menghindari hal-hal yang membatalkan puasa dan merusak pahalanya (imsak ’an). Hadis Nabi menyatakan, ”Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan sempurna dan berkesinambungan berlandaskan iman dan pengharapan akan ridha Allah semata, maka akan diampuni dosa-dosa (kecil) nya yang telah lalu.”

Anak-anak kecil biarlah berpuasa semampunya. Yang penting, pemahaman keagamaannya kita tingkatkan. Bagi kita yang dewasa, puasa membuat hati dan pikiran kita lebih jernih. Enerji ketuhanan melimpah dalam sanubari kita. Kepekaan terhadap kehidupan kemanusiaan dan segala problematikanya lebih sensitif, sehingga kita tidak tega melihat banyak orang menderita kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan. Inilah puasa yang meningkat dari waktu ke waktu. Puasa yag tidak sekadar menjadikan kita lapar dan haus belaka.Insya Allah.(Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Jumat, 05 Agustus 2011 1 komentar By: sanggar bunga padi

Berpuasa Dengan Hati Bersih

Salah satu tradisi bagus yang berkembang di masyarakat Muslim menjelang datangnya bulan Ramadhan adalah saling meminta maaf atas segala khilaf dan salah yang mungkin terjadi selama setahun ini. Tradisi ini nantinya juga akan berlanjut tatkala Idul Fitri atau Lebaran tiba.

Meski puasa Ramadhan tidak mensyaratkan bersihnya seseorang dari salah dan khilaf kepada orang lain namun orang akan merasa tenteran dan nyaman jika sewaktu melaksanakan ibadah shoum tidak terusik oleh perasaan bersalah. Terlebih bahwa di waktu Ramadhan, dosa-dosa kecil kita yang telah lalu dijanjikan akan diampuni Allah Swt. Dalam konteks ini, ampunan Allah akan datang jika kesalahan kita yang berhubungan dengan orang lain telah dapat dimaafkan oleh orang lain tersebut. Bukankah kesalahan kepada Allah akan berhubungan langsung dengan Allah sedang kesalahan kepada sesama manusia harus diselesaikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan?

Ada tiga kesulitan yang seringkali dihadapi seseorang berkaitan dengan kesalahan yang pernah diperbuat : pertama, kita serigkali sulit meminta maaf, kedua seringkali kita sulit memaafkan kesalahan orang lain dan ketiga, seringkali kita sulit bergaul dengan orang yang pernah membuat kesalahan kepada kita.

Pertama, kita sering sulit meminta maaf kepada orang lain atas kesalahan yang mungkin sekali kita perbuat, entah sengaja atau tidak sengaja. Kita kadang merasa kesalahan itu bukan murni karena perbuatan kita, tapi hanya ikutan dari perbuatan orang lain, sehingga kita merasa tidak bersalah. Atau kita merasa bahwa kesalahan yang kita perbuat kecil saja jadi tidak perlu minta maaf. Padahal yang namanya kesalahan, entah kecil atau besar tetaplah sebuah kesalahan dan haruslah minta maaf kepada yang tertimpa kesalahan kita itu. Mungkin juga kita tidak mau minta maaf karena gengsi. Takut gengsi atau prestise kita turun di mata orang lain. Apalagi jika orang kaya harus meminta maaf kepada orang miskin, seringkali yang terjadi justru sebaliknya.

Kedua, kita seringkali sulit memaafkan kesalahan orang lain. Entah mengapa, di masyarakat kita ada saja orang-orang yang sangat sulit memaafkan kesalahan orang lain. Menjadi pendendam dan mengintai waktu untuk membalasnya. Seringkali permaafan yang diberikan tidak tulus, hanya berada di lapis tipis bibirnya. Sehingga tatkala ada saat yang tepat untuk melampiaskan kemarahan, ia akan memanfaatkan kesalahan yang telah lalu sebagai amunisinya. Bukan hanya individual, tapi juga komunal.

Di sebagian daerah negeri kita, beberapa waktu lalu sering sekali diwarnai bentrokan berdarah antar warga masyarakat disebabkan oleh hal-hal sepele. Namun karena hal-hal sepele itu merupakan akumulasi dari dendam yang lama terpendam dan tak kunjung disiram permaafan yang tulus, maka konflik pun mudah sekali tersulut.

Ketiga, ikutan dari sifat kurang bagus yang kedua tadi adalah kemudian kita sering menjadi sulit untuk mau bergaul kembali dengan orang-orang yang pernah berbuat salah kepada kita. Kita lebih suka memilih teman lain daripada kepada orang tersebut. Ini sebuah pikiran yang tentu saja salah, karena setiap orang dapat berubah. Mungkin saja seseorang pernah berbuat salah kepada kita, membuat kejengkelan pada hati kita, tapi mungkin sekali ia sudah berubah. Menjadi baik. Apalagi jika diantara kita dan dia telah saling memaafkan.

Puasa Ramadhan yang diawali dengan saling maaf memaafkan dimaksudkan agar ketika masuk waktu puasa, jiwa kita bersih. Kalaupun kita punya salah, maka kita telah berusaha untuk meminta maaf. Apakah permintaan maaf kita diterima dengan tulus atau tidak oleh orang lain, itu sudah bukan urusan kita. Dalam Qs. Ali Imran : 134 disebutkan bahwa orang-orang yang beriman dan orang-orang yang baik adalah orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Karenanya jika kita ingin melaksanakan puasa Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan semata mengharap ridha Allah, maka kita harus mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika kesalahan itu kecil-kecil dan ada kemungkinan terjadi lantaran tidak sengaja.

Imam Syafi’i diriwayatkan pernah menyatakan, “Barangsiapa tidak bisa memaafkan kesalahan orang, maka dia adalah syaitan.” Sungguh pernyataan yang amat menohok jiwa pemaaf kita. Semoga di puasa Ramadhan ini kita bisa menjadi orang yang pemaaf bukan justru menjadi syaitan. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Kamis, 04 Agustus 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Puasa Membentuk Pribadi Bersyukur

Jika kita renungkan ayat yang mengandung perintah berpuasa Ramadhan, maka akan kita temukan pula bahwa salah satu tujuan berpuasa adalah agar kaum mukminin menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Di manakah hal itu termaktub? Tidak jauh-jauh dari ayat paling populer di bulan Ramadhan (Qs. Al Baqarah : 183), ia berada di Qs. Al Baqarah ayat 185.

Sebenarnya ayat ini juga menjadi landasan pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan, namun ia kalah tenar dengan ayat sebelumnya. Jika di ujung ayat 183 Allah menyuruh kaum mukminin berpuasa agar menjadi bertaqwa (la’allakum tattaqun), maka di ujung ayat 185 Allah menjadikan puasa Ramadhan dimana Al Qur’an diturunkan di dalamnya agar kaum mukminin menjadi bersyukur (la’allakum tasykurun). “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Dalam al Qur’an terdapat tidak kurang dari 49 ayat yang berkenaan dengan kata syukur. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syukur harus mendapat perhatian penting dari kaum mukminin.

Terdapat satu ayat sangat populer berkenaan dengan keharusan bersyukur yang tercantum dalam Qs. Ibrahim ayat 7, “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Namun meski ayat ini secara sederhana, tegas dan lugas menyuruh kita bersyukur, toh menurut Allah sendiri, hanya sedikit saja dari hamba-hamba-Nya yang benar-benar dapat bersyukur. Misalnya dalam Qs. Al Mulk ayat 23 dinyatakan, “Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”

Manusia dalam Al Qur’an dipersepsikan sebagai umat yang beriman. Hal ini merupakan sebutan yang amat terpuji. Namun terkadang pujian itu hilang karena perbuatan nista. Keimanan seorang manusia dinilai mampu menciptakan keamanan dan kenyamanan, baik untuk pribadi, keluarga, dan masyarakat luas. Dan rasa aman dan nyaman salah satunya tercipta dengan berpuasa, karena berpuasa menghasilkan banyak kebaikan yang konkrit.

Orang yang beriman adalah orang orang yang mampu memberi rasa aman ditandai dengan suksesnya menjalankan ibadah puasa. Keimanan yang benar akan menghasilkan prilaku yang memberikan keamanan bagi diri, keluarga dan masyarakat. Kesadaran bahwa kita adalah komunitas beriman, langsung nampak dari perilaku keseharian kita dalam kehidupan. Iman terkait dengan tiga kata, yaitu Iman, Aman dan Nyaman. Iman menghadirkan rasa aman, Aman menghadirkan kenyamanan. Sehingga kita bisa menjalankan amanah terhadap umat dan janji kepada Allah dengan sebaik-baiknya.

Namun rasa syukur hanya sering menjadi ucapan verbal semata, yang hanya diucapkan pada momen-momen hari besar keagamaan saja. Padahal ungkapan rasa syukur merupakan suatu yang harus kita lakukan secara sadar untuk melaksanakan sukses yang ada guna menggantikan kondisi yang penuh dengan kekhawatiran, menjadi kondisi yang penuh dengan kebahagiaan.

Puasa Ramadhan memberi ruang kepada kaum muslimin untuk kembali meningkatkan harkat kemanusiaannya yang mungkin terbengkelai pada sebelas bulan lainnya. Pada sebelas bulan yang hiruk pikuk itu, kita mungkin terlalu sibuk dengan urusan duniawi yang menyita potensi pendengaran, penglihatan dan hati kita untuk hal-hal yang lebih spiritual. Pada bulan Ramadhan, seiring dengan pelaksanaan puasa, kita dikembalikan kepada nuansa penciptaan kita yang paling baik (ahsani taqwim). Penciptaan yang paling baik itu antara lain ditandai dengan tidak adanya penyakit jasmaniah (diekspresikan dengan kemampuan menahan makan, minum dan hubungan seksual suami-istri di siang hari) dan ruhaniah (diekspresikan dengan kemampuan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah didalamnya, seperti tarawih, memperbanyak tadarus al Qur’an).

Kondisi inilah yang harus kita syukuri, karena Allah Swt memberi kesempatan kepada kita untuk segera ingat, segera sadar, bahwa ternyata dalam sebelas bulan di luar Ramadhan ada kemungkinan kita terjerumus pada hal-hal yang kurang baik. Dengan perenungan di bulan Ramadhan kita diangkat dari lepotan lumpur keduniaan ke arasy spiritual yang lebih jernih dan murni. Maka bentuk kesyukuran kita adalah melaksanakan ibadah puasa tidak hanya secara fisik, tapi juga kejiwaan.

Rasulullah bersabda, “Telah datang bulan berkah, yaitu bulan Ramadhan”. Saat itu, puasa baru diwajibkan oleh Rasulullah Saw. dimana umat Islam baru berhijrah dari Makkah ke Madinah. Berpindah dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain. Dari kondisi tertindas menjadi terhormat, dari kondisi tak dikenal menjadi dikenal, dari kondisi yang bermasalah, menjadi solusi dari masalah. Kesadaran untuk bersyukur merupakan kesempatan emas untuk menempa diri. Rasa syukur dapat diwujudkan melalui prilaku keseharian yang dilakukan secara sadar. Dari rasa syukur bisa melipatgandakan pahala, namun rasa syukur sering muncul secara tidak sadar. Rasa syukur hanya sering muncul secara spontan dalam ungkapan verbal. Padahal rasa syukur amat diperlukan sehingga kita mampu mengelola segala karunia Allah dengan lebih baik lagi agar bisa menghadirkan manfaat sebanyak-banyaknya bagi manusia.

Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Sabda Nabi dalam satu haditsnya riwayat Al Bukhari, “Di syurga terdapat delapan pintu, di dalamnya ada pintu yang disebut Ar Rayyaan. Tidak masuk ke dalamnya kecuali orang-orang yang berpuasa.” Atau di hadis yang lain, “Pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim)

Menilik keistimewaan yang dikandung oleh puasa Ramadhan di atas, maka sungguh pantas jika puasa Ramadhan ini hendaknya menjadikan kita pribadi yang bersyukur. Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...